Komisi VII DPR-RI Soroti Ketimpangan Penindakan Tambang Nikel oleh ESDM
![]() |
Komisi VII DPR-RI Soroti Ketimpangan Penindakan Tambang Nikel oleh ESDM |
Penulis: Christhoper Natanael Raja
METROPOLITAN — Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Evita Nursanty menyuarakan keprihatinan mendalam atas aktivitas pertambangan nikel yang marak di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya. Ia menyoroti ketimpangan dalam penegakan hukum oleh pemerintah, khususnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yang hanya menjatuhkan sanksi kepada satu perusahaan tambang.
“Kami mendapat banyak pertanyaan dari masyarakat, mengapa Menteri ESDM (Bahlil Lahadalia) hanya menindak PT Gag Nikel, sedangkan yang lain tidak. Padahal, KLHK telah menyebut keempat perusahaan nikel di sana melakukan pelanggaran,” ujar Evita dalam keterangannya, Senin (9/6).
Menurut politisi PDI Perjuangan itu, tindakan yang hanya menyasar satu perusahaan menimbulkan tanda tanya besar, terutama karena tiga perusahaan lain yang juga disebut melakukan pelanggaran oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) justru belum disentuh hukum.
Evita menegaskan bahwa Raja Ampat adalah kawasan strategis nasional yang memiliki nilai luar biasa dalam hal pariwisata, konservasi geologi, budaya, dan kelestarian laut. Ia mengingatkan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil seperti Pulau Gag seharusnya dilarang.
“Pulau-pulau ini, termasuk Pulau Gag, merupakan pulau kecil yang seharusnya tidak boleh ditambang. Aktivitas pertambangan nikel di sana jelas melanggar undang-undang,” tegasnya.
Lebih jauh, Evita menyoroti ketidaksesuaian antara kegiatan pertambangan dengan visi pembangunan pariwisata berkelanjutan yang telah lama diusung untuk Raja Ampat. Ia menilai keberadaan tambang sebagai bentuk pembohongan publik yang berisiko merusak masa depan daerah.
“Kami melihat pertambangan di sana akan selalu berlawanan dengan rencana pembangunan pariwisata berkelanjutan. Ini harus dibongkar. Jangan korbankan Raja Ampat, Papua Barat Daya, dan Indonesia hanya demi kepentingan tiga atau empat perusahaan tambang nikel,” ungkapnya.
Selain dampak lingkungan dan ekonomi, Evita juga menyampaikan keluhan dari sejumlah kepala daerah yang merasa tidak dilibatkan dalam proses evaluasi dan komunikasi perizinan tambang. Ia menilai peran pemerintah daerah terlalu kecil dan hanya menjadi penonton dalam kebijakan strategis yang menyangkut wilayah mereka.
“Daerah mengeluh karena hanya menjadi penonton. Bahkan, perusahaan-perusahaan tambang ini tidak berkomunikasi dengan pemerintah daerah. Itu diungkapkan langsung oleh para kepala daerah,” kata Evita.
Ia pun mendesak agar pemerintah pusat segera merevisi regulasi teknis terkait pertambangan, serta memperkuat mekanisme konsultasi publik sebelum izin usaha diterbitkan.
“Sudah saatnya pemerintah membuka ruang yang lebih besar bagi partisipasi daerah dan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, terutama yang berdampak langsung pada lingkungan hidup dan masa depan daerah,” tutup Evita.