BREAKING NEWS

PBB Lunas ADD Cair, Kepala Desa atau Petugas Pajak ?


PBB Lunas ADD Cair, Kepala Desa atau Petugas Pajak ?

SELAYARKINI - Klarifikasi resmi Pemerintah Kabupaten Kepulauan Selayar yang dirilis melalui laman resminya pada Selasa, 18 Juni 2025, justru memantik polemik baru. Alih-alih menjernihkan persoalan, pernyataan berjudul “Pemerintah Desa Diminta Pahami Kewajiban Terkait PBB-P2, BPKPD: Ini Demi Kepentingan Bersama” itu menuai kecaman dari sejumlah kepala desa.

Dalam rilis tersebut, Pemkab—melalui BPKPD—menegaskan bahwa pencairan Alokasi Dana Desa (ADD) memang dikaitkan dengan capaian realisasi Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Anehnya, tidak satu pun dasar hukum yang dikutip untuk menopang klaim tersebut.

“Bukan ditahan, tapi karena syarat belum terpenuhi,” tulis BPKPD.

Namun, syarat yang dimaksud tidak ditemukan dalam regulasi resmi, baik dari Kementerian Desa maupun dalam aturan yang mengatur transfer keuangan desa. Hal ini menjadi sumber kegelisahan di banyak desa yang merasa telah memenuhi seluruh persyaratan pencairan ADD tahap II.

“Dokumen kami sudah lengkap. Sejak kapan PBB jadi syarat ADD? Pajak itu urusan wajib pajak, bukan tugas perangkat desa,” keluh salah satu kepala desa.

Pernyataan Pemkab ini dianggap menyesatkan sekaligus mengubah posisi desa dari pelayan masyarakat menjadi semacam kolektor pajak dadakan. Beberapa kades bahkan menyamakan logika Pemkab dengan kebijakan yang tak berdasar:

“Kalau begitu, apakah layanan ke masyarakat boleh kami stop kalau mereka belum bayar pajak? Kan konyol. Kami bukan penagih utang.”

Kondisi makin pelik karena di sejumlah wilayah, masih ditemukan persoalan teknis seperti SPPT ganda dan objek pajak fiktif yang tak dikenali oleh perangkat desa. Bahkan ada aparat desa yang diminta menagih PBB atas tanah yang tidak pernah mereka lihat wujudnya.

Dampak dari penundaan ADD tak bisa dianggap remeh. Di beberapa desa, pelayanan lumpuh karena kas kosong. Kegiatan pemerintahan tersendat, perangkat desa merasa ‘dikorbankan’ oleh kebijakan yang tidak berpijak pada dasar hukum yang sah.

Ironisnya, Pemkab tetap bersikukuh bahwa penekanan pada realisasi PBB adalah demi “kepentingan bersama.” Padahal, tak satu pun regulasi pusat—baik Surat Edaran Kementerian Desa PDTT maupun aturan keuangan daerah yang menyebut capaian PBB sebagai syarat pencairan ADD. Bila pun ada kebijakan lokal, mestinya dituangkan dalam Peraturan Daerah atau Peraturan Kepala Daerah, bukan lewat rilis media.

Desakan dari desa pun kian menguat. Mereka meminta kejelasan dan keadilan, agar pencairan dana desa tidak dikunci hanya karena realisasi pajak belum terpenuhi.

“ADD itu dana untuk pelayanan publik, bukan insentif pungutan,” tegas seorang kepala desa dari wilayah daratan Selayar.

Dengan tak adanya dasar regulasi yang tegas, klarifikasi Pemkab justru memperdalam krisis. Kebijakan “PBB dulu, baru ADD cair” dianggap sebagai logika terbalik yang melemahkan desa. Layanan publik dikesampingkan, selama pajak belum lunas. Dan inilah wajah tata kelola fiskal yang tengah dipertanyakan. (Tim)

Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image