Pengusaha Besar Tetap Beroperasi: Ada Apa dengan PKS Ikan Hidup?
![]() |
Dokumentasi Salah satu Keramba di Kawasan Takabonerate yang hingga saat ini PKS Belum Terbit |
SELAYARKINI – Persoalan pelarangan pembelian ikan hidup di kawasan Taman Nasional Takabonerate belum menemui titik terang. Kebijakan yang disebut untuk mendukung konservasi laut justru menimbulkan keresahan di kalangan nelayan dan pembeli ikan hidup, terutama mereka yang telah mengikuti prosedur kerja sama namun tetap diberhentikan.
Penyegelan keramba, penyitaan jaring, hingga pelarangan aktivitas pembelian ikan hidup tanpa perjanjian kerja sama (PKS) resmi dengan pengelola kawasan menjadi sorotan utama. Nelayan dari pulau-pulau kecil di wilayah konservasi mempertanyakan dasar hukum tindakan ini, terlebih ketika ada pengusaha besar yang tetap bebas beroperasi meski legalitasnya juga belum jelas.
“Kami sudah bangun keramba, urus izin usaha, dan urus semua dokumen ke Balai. Tapi kenapa justru kami yang dihentikan, sedangkan yang lain tetap jalan terus?” keluh salah satu nelayan pembeli ikan dari Pulau Jinato.
Ketimpangan dalam Penerapan Aturan?
Balai Taman Nasional Takabonerate mewajibkan pembeli ikan hidup memiliki PKS sebagai bukti kerja sama konservasi. Anjuran ini awalnya diikuti oleh banyak pembeli, namun realitas di lapangan tidak sejalan. Alih-alih mendapat dukungan, beberapa nelayan justru menghadapi penyegelan dan pelarangan beroperasi.
Ironisnya, dua pengusaha besar disebut masih leluasa membeli ikan tanpa hambatan berarti. Kondisi ini memunculkan dugaan praktik tebang pilih dalam penerapan aturan konservasi.
“Kalau memang semua harus punya PKS, kenapa ada yang bisa tetap jalan tanpa dokumen itu? Jangan sampai aturan hanya untuk yang kecil-kecil saja,” ungkap seorang pembeli dari Desa Rajuni.
Ekonomi Lokal Terdampak
Dampak dari penghentian pembeli ikan hidup turut menghantam rantai pasok lokal. Nelayan pemancing kehilangan tempat menjual hasil tangkapannya. Harga jual ke pembeli besar yang tetap beroperasi pun jauh lebih rendah, tidak menutup ongkos operasional melaut.
“Sudah hampir tiga bulan proposal PKS kami belum disetujui. Katanya masih mau dikirim ke pusat. Sementara nelayan sudah tidak bisa melaut karena tidak ada yang menampung ikan hidup,” ujar salah seorang pembeli ikan.
Tak hanya keramba komersial, bahkan keramba ketahanan pangan milik desa pun ikut terancam jika aturan diterapkan tanpa kompromi. Jika keramba itu tak ber-PKS, apakah akan dilarang juga?
“Kalau tidak dilarang, lalu apa bedanya dampaknya terhadap lingkungan? Ini membingungkan,” sambungnya.
Di Tengah Kebijakan, Nelayan Lokal vs Nelayan Luar
Masalah lain yang memicu kekecewaan adalah keberadaan kapal-kapal jaring pukat (pursesein) dari luar kawasan yang tetap bebas menangkap ikan dalam jumlah besar. Sementara nelayan lokal yang menggunakan alat tangkap sederhana justru dibatasi.
“Kami malah diminta ikut patroli sama petugas jagawana, sementara yang dari luar dibiarkan bebas masuk,” ujar seorang tokoh pemuda pesisir.
Saatnya Konservasi Lebih Manusiawi
Kasus di Takabonerate membuka bab penting soal keadilan dalam konservasi. Regulasi yang tidak disertai pendekatan sosial yang kuat akan memicu resistensi dan ketidakpercayaan.
Konservasi tidak bisa hanya soal dokumen dan pelarangan, tapi harus menyentuh realitas sosial masyarakat yang hidup di dalamnya. Nelayan dan pembeli ikan kecil bukan musuh konservasi – mereka justru bisa menjadi mitra strategis jika dilibatkan secara adil dan setara.
Menanti Jawaban dan Kejelasan
Nelayan dan pembeli ikan hidup kini menanti kejelasan status PKS mereka. Mereka menyatakan siap memenuhi seluruh persyaratan yang diminta, namun berharap tidak ada lagi praktik diskriminatif atau pembiaran yang berujung ketimpangan.
“Kami siap ikut aturan, tapi jangan ada yang dibiarkan dan ada yang dilarang. Keluarkan saja dulu surat PKS supaya kita sama-sama jalan,” pungkas seorang pembeli.