Nelayan Tradisional Padang Keluhkan Adanya Nelayan Pukat Kuasai Lahan Pancing
SELAYARKINI – Nelayan Padang di Desa Bontosunggu, Kecamatan Bontoharu, Kabupaten Kepulauan Selayar, mulai menjerit. Mereka menduga lahan tangkapan ikan dan lokasi pancing tradisional telah dikuasai nelayan pukat asal Kabupaten Jeneponto.
Dalam beberapa bulan terakhir, hasil tangkapan nelayan lokal anjlok drastis. Mereka kehilangan penghasilan tetap, bahkan sebagian terpaksa pulang dari laut dengan tangan hampa.
Rustam, salah seorang nelayan Padang, mengaku prihatin dengan kondisi tersebut. Menurutnya, situasi ini tidak hanya menghimpit ekonomi keluarga, tetapi juga merenggut rasa keadilan bagi nelayan tradisional.
“Kami sudah tidak bisa lagi berharap banyak. Laut ini serasa bukan milik kami. Ada yang lebih kuat, dan kami hanya bisa menerima nasib,” ujarnya lirih.
Padahal, pemerintah pusat melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan telah melarang penggunaan pukat karena dianggap merusak ekosistem laut dan mengancam mata pencaharian nelayan kecil. Namun, di lapangan aturan itu justru terkesan diabaikan.
Sejumlah warga pesisir menuding lemahnya pengawasan aparat menjadi celah bagi nelayan luar masuk dan menguasai laut Selayar. Dugaan keterlibatan nelayan pukat asal Jeneponto memperkuat keresahan, bahkan memunculkan kekhawatiran terjadinya konflik horizontal antar-nelayan.
Situasi di laut Selayar kini ibarat bom waktu. Jeritan nelayan Padang semakin nyaring, namun tak kunjung mendapat jawaban. Dugaan keterlibatan nelayan pukat asal Jeneponto terus bergulir, sementara aparat dan pemerintah seolah abai.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, bukan hanya ekosistem laut yang hancur, tetapi juga potensi konflik antar-nelayan yang bisa meledak sewaktu-waktu. Dan di tengah diamnya pengawasan, nelayan kecil hanya bisa pasrah melihat ruang hidupnya direbut sedikit demi sedikit.
Pertanyaannya, sampai kapan nelayan tradisional Padang harus menanggung derita di lautnya sendiri, sementara aturan hanya jadi dokumen di atas meja?